Selasa, 19 Agustus 2008

Menuju Paradigma Let Producer Beware

China menjatuhkan larangan masuk atas produk hasil laut Indonesia masuk ke wilayahnya untuk sementara waktu. Hingga kini, pengumuman larangan impor sementara itu hanya diperoleh dari situs resmi Badan Karantina China (AQSIQ) yang menyatakan banyak produk perikanan Indonesia yang mengandung unsur logam berbahaya seperti merkuri dan cadmium.

Sangat disayangkan memang tindakan China atas pempublikasian lebih dahulu, sementara jalur birateral belum dilakukan, apakah ini disengaja? Karena alasan untuk mencari bargaining position mungkin, karena prodak China setidaknya mendapat predikat buruk oleh konsumen di Indonesia atas rilis BPOM dalam liputan-liputan media.

Bisa jadi langkah China mempublikasikan dahulu adalah salahsatu cara mempengaruhi pasar. Persis dengan yang terjadi di pasar Indonesia yang membuahkan stigma bahwa produk China bermasalah, mulai dari standar kualitas sampai masuknya produk tanpa izin resmi ke pasar Indonesian.

Larangan sementara impor produk hasil laut Indonesia menuai berbagai pendapat dari berbagai kalangan, diantaranya Jusuf Kala “pemerintah kita dan China tentunya melindungi konsumen dalam negri kita sendiri maupun konsumen China. Akan tetapi, jangan sampai ini menjadi perang dagang kedua Negara, kalau itu terjadi, tentunya tidak baik.” Kompas (7/8).

Selama 2006, ekspor produk perikanan Indonesia ke China mencapai 70,3 juta dolar AS. Ekspor produk makanan dan minuman olahan ke China selama 2006 mencapai 31 juta dolar AS, ekspor selama Januari-April mencapai 12,8 juta dolar AS. Sementara itu, impor produk makanan dan minuman olahan selama 2006 mencapai 135 juta dolar AS sedangkan Januari-April 2007 mencapai 61 juta dolar AS. Secara total pada 2006, nilai ekspor ke China mencapai 8,3 miliar dolar AS sedangkan impornya sebesar 6,6 miliar dolar AS. Surplus perdagangan Indonesia dengan China itu ditopang oleh ekspor minyak dan gas.

Wajar saja ketakutan perang dagang atara China dan Indonesia berpotensi besar, indikasinya larangan China terhadap impor produk hasil laut menyusul setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis tujuh produk asal China mengandung formalin.

Perang Citra

Boleh dibilang sebenarnya perang perdagangan sebenarnya sudah dimulai dari perang pencitraan. Tujuh produk China yang telah dinyatakan oleh BPOM berbahaya dan dibesarkan di media tentunya berdampak buruk terhadap kenyamanan konsumen produk China di Indonesia khususnya. China melihat itu sebagai hal yang merugikan baginya, sehingga konsep bahwa media harus dilawan dengan media menjadi taktis jitu bagi China.

Jangan heran publikasi melalui situs resmi AQSIQ dipilih sebagai tandingan pengumpan media di Indonesia. Jika jalur birateral dulu maka akan sangat lama pembentukan opinion public, dan lagi menjaga kepercayaan konsumen produk China di Indonesia lebih penting dari pada masalah perang dagang.

Perang dagang yang dikuatirkan akan terjadi sebenarnya bisa ditepis dengan melihat kerjasama yang telah terjalin dengan baik antara RI dan China. Negara mana yang mau kehilangan sumber pendapatan yang cukup besar, saya kira tidak mungkin kalau alasan yang dipakai hanya masalah standar mutu produk, terlalu kecil untuk nominal keuntungan sebesar itu.

Perlindungan Konsumen

Saat ini konsumen adalah korban langsung dari produk yang mengandung formalin, hendaknya jangan hanya ribut-ribut masalah bisanis, atau membicarakan untung-rugi bisanis dan financial saja.

Perlindungan terhadap konsumen agaknya masih sepi di Indonesia. Padahal masalah standar produk sangatlah penting. Saat ini yang terekspos media baru permen dan kosmetik, bayangkan jika yang produk tidak standar itu obat misalnya, resiko konsumen akan lebih berbahaya.

Jika hanya penyakit flu mungkin hanya akan lama sembuhnya dengan mengkonsumsi obat tidak setandar, bagaimana dengan obat penyakit yang lebih berbahaya, nyawa taruhanya.

Standarisasi ini sangat penting untuk dimengerti oleh produsen, dengan mengesampingkan ini untuk keuntungan finansial semata tidaklah bijak. Dengan semakin kritisnya masyarakat, harusnya mereka untuk menyelaraskan produk dengan keinginan konsumen yaitu keinginan produk yang bagus.

Sudah saatnya produsen meninggalkan paradigma product out, yaitu memproduksi barang dan jasa sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi quality control memadai.

Kini paradigmanya market in, yaitu menguji betul aspek keamanan dan perlindungan konsumen sebelum suatu produk dilepas ke pasar. Karena proses jadi lebih panjang dan biaya mungkin juga lebih besar, mau tidak mau konsumen akan membayar lebih mahal.

Komunitas pelaku usaha harus sudah berubah dari paradigma let be consumer beware yaitu konsumenlah yang harus hati-hati sebelum mengonsumsi barang dan jasa, ke paradigma let producer beware, yaitu produsenlah yang harus berhati-hati sebelum melepas produk ke pasar.

Inilah sebenarnya permasalahan yang krusial untuk dipertimbangkan kembali para pelaku bisanis nasional maupun internasional dimasa depan, serta sinergi dari pemerintah dan lembaga pengawas yang pro konsumen.

Tidak ada komentar: